Info Terupdate- Di pagi buta yang listrik padam tiba-tiba pada detik pertama guncangan itu, orang-orang pun menjerit, terhimpit reruntuhan bangunan. Tapi tidak ada yang mendengar teriakan mereka. Semua orang yang tidak tertimbun reruntuhan hanya mendengar suara gemuruh, lalu berlarian, menyelamatkan diri ke tempat tinggi.
Jeritan-jeritan malang itu bersahutan sepanjang persisir bersamaan gempa berkekuatan 6,5 skala Richter mengguncang pantai utara Aceh, pada Rabu 7 Desember 2016 pukul 04:55.
Gempa yang dinyatakan berpusat 10 kilometers di kedalaman daratan Samalanga, Kabupaten Bireuen, selama 17 detik itu pun meruntuhkan ratusan bangunan, mencabut lebih seratus nyawa manusia.
Orang-orang terus berlari, dan berhenti di tempat tinggi, bebukitan. Setelah beberapa jam tidak gempa lagi, mereka pun kembali.
Salah satu dari ratusan keluarga yang malang itu adalah Nazaruddin, SH berusia 45 tahun, seorang wiraswasta, bersama isrtinya Rahmawati, 35, seorang perawat, dan anak-anak mereka, yaitu Hanim Aulia, 9, Haiyan Fayad 5,5, dan Haura, 11. Mereka tertimbun reruntuhan rumah dua lantai tempat hunian.
"Saya berpikir memang tidak hidup lagi, kami menjerit meminta tolong, tetapi tidak ada yang mendengar, saat itu semua orang berusaha menyelamatkan diri. Akhirnya saya pun meuratep-ratep saja," kata Rahmawati dengan wajah sendu terisak.
Rahmawati, pagi itu tidur bersama anak dan suaminya. Begitu gempa terjadi, listrik langsung padam. Suaminya, Nazaruddin bangun berlari ke pintu, ingin melihat keadaan anak mereka di kamar lain. Namun bangunan rumah mereka rubuh, Nazaruddin, Hanim Aulia, dan Haiyan Fayad tertimpa reruntuhan.
"Mereka terjepit di depan saya, tidak bisa membantu karena saya sendiri tidak bisa bergerak. Kami masih menjerit minta tolong, selama berjam-jam, sampai sekira pukul 8 pagi, saya mengetahui ada seorang tetangga, Tika, melewati rumah kami yang telah rata dengan tanah. Ia mendengar suara saya dan serta merta mengajak orang-orang membantu mengeluarkan kami dari reruntuhan rumah," kata Rahmawati, di rumah ibunya, dekat reruntuhan rumahnya, Gampong Kuta, Pangwa, Pidie Jaya.
Orang-orang pun berkerumun berusaha mengangkat reruntuhan. Namun tidak bisa, harus dengan alat berat. Ada sebuah beko di dekat itu. Orang-orang menghubingi pemiliknya, Firmandez, untuk meminta bantuan mengangkat reruntuhan agar dapat menyelamatkan orang yang tertimbun.
Pemikik beko bersedia, namun beko itu tidak memiliki bahan bakar. Maka orang-orang pun mencari bahan bakar, solar, tidak ada di tempat terdekat. Sekira setengah jam, bahan bakar beko pun ada. Maka mualilah dipindahkanlah reruntuhan.
S"Anak kami, Haura, di samping saya, terjepit, tapi tidak ada reruntuhan yang menimpa kepala kami, tempat tidur tempat kami berlindung telah menghalangai reruntuhan itu. Saya hanya dapat melihat, anak di depan mata meninggal, kemarin, mere bermain bercanda dengan saya. Cuma Haura yang selamat, dua lagi telah pergi bersama beliau (Suaminya, Nazaruddin)," kata Rahmawati, terisak sendu.
Rahmawati mengatakan, tidak ada harta apapun yang dimilikinya sekarang selain pakaian yang melekat di badan saat diselamatkan.
"Semua tertimbun di reruntuhan rumah kami sendiri yang kini rata dengan tanah. Cuma long ngon Haura yang tinggai, dua droe teuk aneuk ka jijak sajan droe geuh," katanya lagi, terbata-bata, berurai air mata.
Badaruddin, suami dari kakak Ramawati, mengatakan, Nazaruddin dan dua orang anaknya dimakamkan di dalam satu liang yang digali dengan beko. Di dalamliang itu, keduanya bersama enam orang lain, para tetangganya yang meninggal akibat gempa pagi itu.
"Ada 9 orang disemayamkan di liang itu. Ibrahim, T Safura binti Nyak Syam (ibunda geuchik setempat), Marlina Yusuf, seorang bayi, Nurbaiti, Yasmin binti Fakhruddin. Sementara Sumarni dibawa pulang ke Gampong Rawasari," kata Badaruddin, yang merupakan pegawai di Badan Dayah Aceh. Sembilan orang yang meninggal dunia itu merupakan kerabatnya.
Semua rumah di kampung Kuta, Mukim Pangwa, Pidie Jaya ini hancur. Walaupun ada yang tersisa, itu pun retak.
Rahmawati yang merupakan seorang perawat kini tidur di tenda bersama penduduk lain yang takut tidur di rumah karena mengkhawatirkan gempa susulan. Semua hartanya, tertimbun reruntuhan rumah dua lantai milik ia dan suaminya, termasuk sebuah mobil pickup Panther, sebuah Honda Supra, dan Yamaha Vario, masih ditindih beton yang merata dengan tanah.
"Kami butuh tempat tinggal, kalau makanan ada."
Sebagaimana diketahui, jumlah korban akibat bencana gempa bumi di provinsi Aceh hingga Kamis, 8 Desember 2016 mencapai 102 jiwa. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, selain korban jiwa ada pula satu orang hilang, 136 orang luka berat dan 616 orang luka ringan.
Jumlah korban itu merupakan angka total di tiga kabupaten yang terdampak, yakni Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, dan Kabupaten Pidie. Dampak terbesar dan korban terbanyak terdapat di Pidie Jaya. Data ter-update kantor BNPB Jakarta, Kamis, 8 Desember 2016 pukul 06.00 WIB
0 Response to "Kisah Satu Keluarga Terimbun Reruntuhan Ketika Gempa 6.4 SR Di Pidie Jaya Aceh"
Post a Comment